IDENTITAS, HARAJUKU STYLE, PROVOKASI SENSIBILITAS GENDER

Chintya Anggraini

Abstract

Fashion is one the many ways that can be mobilized to form self-identity through the use of various signs which are deliberately chosen to create a particular narration of the self through citations and repetions of other signs understood by the society at large. Through fashion, these signs are understood to distinguish one occupational identity (such as mechanical worker), position (superior, staff and others), origin, and others, or in other words through the axis of class, race and gender, usually stereotypically used and performed to create the identity of the fashion consumers.

Harajuku style is one of the most famous fahion style in the world originated and flourished in Harajuku in the center of Tokyo, Japan, and can be distinguished by their choice of styles, brands, colors and compositions which some observers call as anti-fashion. In this paper, Harajuku style that developed since the end of 1980s is seen as a style that provide space and freedom to conform, to exaggerate, to mock, or even completely to reject fashion signs commonly understood in mainstream fashion. By analyzing pictures from the FRUiTS magazine, and through semiotic and gender analyses, this paper is focused on how Harajuku style opens the space for their consumers to exaggerate feminine or masculine images through particular use of styles and accessories, and there a number of those who are aimed to mock or even create gender anomaly (gender bending) to challenge existing gender stereotypes. 

Keywords: Fashion, Harajuku, Japan, Gender bending


Abstrak

Gaya berpakaian (fashion) adalah salah satu cara yang biasa digunakan untuk membentuk identitas diri melalui pemakaian serangkaian tanda yang sengaja dipilih untuk menciptakan ‘narasi’ tertentu tentang pemakainya melalui sitasi dan pengulangan dari tanda lain yang dipahami oleh masyarakat. Dalam fashion maka tanda-tanda ini dipahami secara berbeda untuk membentuk identitas pekerjaan (misal, pekerja bengkel), posisi (pimpinan dan bawahan),  asal daerah, dan sebagainya, atau dengan kata lain, menurut sumbu-sumbu kelas, ras, dan gender yang seringkali bersifat stereotip dan dipakai dan digunakan (performed) untuk menciptakan identitas pemakainya. Harajuku style adalah salah satu fashion yang paling dikenal di dunia yang awalnya berkembang di daerah Harajuku di tengah kota Tokyo, Jepang, dan dikenal dengan pilihan gaya, warna, brand, dan komposisi pemakaiannya yang oleh beberapa pengamat kadang disebut sebagai anti-fashion. Dalam tulisan ini, Harajuku style yang berkembang sejak akhir 1980-an, dilihat sebagai satu gaya yang memberi ruang dan kebebasan yang sangat luas untuk meneguhkan, melebih-lebihkan, mempermainkan, atau bahkan menolak sama sekali tanda-tanda fashion yang lazim dipahami dalam gaya berpakaian yang konvensional (mainstream). Dengan menggunakan foto-foto yang ada di majalah FRUiTS, dan dengan analisa semiotik dan analisa gender, tulisan ini memfokuskan pada bagaimana Harajuku style membuka ruang bagi pemakainya untuk melebih-lebihkan citra feminitas atau maskulinitas dengan menggunakan gaya dan aksesori tertentu, dan tidak kurang pemakai yang mencoba untuk mempermaikan sensibilitas gender, atau bahkan menciptakan anomali gender (gender bending) untuk mengacaukan stereotip yang ada.

 

Kata KunciFashion, Harajuku, Jepang,  Gender bending

Keywords

Multiculturalism

Full Text:

PDF

References

Anggraini, C. (2018a). Harajuku Free Style dan “Kebebasan” Anak Muda Tokyo dalam Majalah FRUiTS. Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.

___________. (2018b). Memakai Harajuku Style: Brand-brand Lokal dan Street Style di Jepang. Lensa Budaya. 13 (2).

Barker, C. (2005). Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

______, C. (2014). Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: PT Kanisius.

Beasley, W. G. (2003). Pengalaman Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

English, B. (2013). A Cultural History of Fashion in The 20th and 21st Centuries, London: Bloomsburry Academic.

Fakih, M. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fukai, A. (2002). Fashion. Dalam S. Buckley (Ed.), Encyclopedia of Contemporary Japanese Culture. London and New York: Routledge.

Groom, A. (2011). Power Play and Performance in Harajuku. New Voice, 4.

Hoed, B. H. (2011). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, Depok: Komunitas Bambu.

Jiratanatiteenun, A., Mizutani, C., Kitaguchi, S., Sato, T., Kajiwara, K. (2012). The Transformation of Japanese Street Fashion between 2006 and 2011. Advances in Applied Sociology, 2 (4).

McVeigh, B. (2017). Wearing Ideology: How Uniforms Discipline Minds and Bodies in Japan. Fashion Theory. 1 (2).

Miller, L. (2006). Beauty Up.Exploring Contemporary Japanese Body Aesthetics.London: University of California Press.

Nakao, A. (2015). The Formation and Commodification of Harajuku’s Image in Japan. Ritsumeikan Journal of Asia Pacific Studies, 34.

Narumi, H. (2010). Street Style and Its Meaning in Postwar Japan. FashionTheory, 14 (4).

Suzuki, T., Best, J. (2003). The Emergence of Trendsetters For Fashions and Fads. The Sociological Quarterly, 44 (1).

Widarahesty, Y. (2018). “Fathering Japan”: Diskursus Alternatif dalam Hegemoni Ketidaksetaraan Gender di Jepang. Jurnal Kajian Wilayah. 9 (1).

Woodward, S. (2009). The Myth of Street Style. Fashion Theory, 13 (1).

Copyright (c) 2018 Jurnal Kajian Wilayah
Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

Refbacks

  • There are currently no refbacks.